Tak kenal maka tak sayang.
Demikianlah pepatah yang bisa menggambarkan mengapa masih banyak
kecurigaan terhadap teknologi nuklir, termasuk dalam bidang kesehatan.
Meski nuklir sudah banyak dimanfaatkan dalam
pengunaan damai namun masyarakat selalu mengaitkan nuklir dengan bom
nuklir yang mematikan. Padahal aplikasi teknik nuklir sudah dipakai
secara luas dalam berbagai bidang mulai dari pertanian sampai kesehatan.
Di bidang kedokteran, teknologi pemindaian berbasis
nuklir dinilai memberi data yang lebih akurat dalam deteksi penyakit
dibanding cara konvensional. Karenanya hampir semua rumah sakit di
negara maju memiliki unit kedokteran nuklir, termasuk di Indonesia,
khususnya di kota besar.
Kedokteran nuklir merupakan ilmu kedokteran yang dalam kegiatannya menggunakan radioaktif terbuka, baik untuk diagnosis maupun dalam pengobatan penyakit, atau dalam penelitian. Walau sudah dikembangkan di tanah air sejak tahun 1960-an, nyatanya citra seram terlanjur melekat pada kata nuklir.
Kedokteran nuklir merupakan ilmu kedokteran yang dalam kegiatannya menggunakan radioaktif terbuka, baik untuk diagnosis maupun dalam pengobatan penyakit, atau dalam penelitian. Walau sudah dikembangkan di tanah air sejak tahun 1960-an, nyatanya citra seram terlanjur melekat pada kata nuklir.
Ketakutan masyarakat akan nuklir diakui oleh
dr.Fadil Nazir, Sp.KN. "Kalau pasien datang pertama kali mereka ragu
jika diminta melakukan pemeriksaan dengan kedokteran nuklir. Baru
setelah diberi penjelasan dan melakukan pemeriksaan mereka sadar
ketakutan mereka berlebihan," katanya.
Dalam mendiagnosis penyakit seseorang sangat
dibutuhkan fasilitas penunjang yang baik dengan akurasi tinggi.
Tujuannya, agar pasien mendapat penanganan terbaik, cepat dan tepat
sehingga waktu perawatan lebih cepat, penderitaan pasien berkurang,
serta biaya perawatan lebih hemat.
Menurut Fadil, dibandingkan dengan teknik diagnostik
radiasi lainnya, pemeriksaan dengan kedokteran nuklir jauh lebih nyaman,
akurat, dan dampak paparannya lebih kecil.
Teknik diangostik dengan kedokteran nuklir yang
banyak dipakai dalam dunia kedokteran antara lain pencitraan medis PET
(positron emission tomography), MRI (magnetic resonance imaging),
CT-Scan (computed tomography), dan masih banyak lagi. Yang terakhir
sedang dikembangkan adalah nano scan-PET
Ditambahkan Fadil, dengan teknologi tersebut kini
berbagai jenis kanker serta gangguan jantung dan pembuluh darah bisa
dideteksi lokasinya secara lebih tepat sehingga pengobatannya pun
efektif.
Dalam penyakit kanker, prosedur diagnosis kanker
bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi kanker. Setiap jenis
kanker memiliki kecepatan laju pertumbuhan sendiri-sendiri,
kecenderungan perkembangan, maupun jenis organ tubuh tertentu yang mudah
terkena penyebarannya.
Dengan mengidentifikasi jenis kanker dan penyebarannya, dokter bisa mengantisipasi kemungkinan sifat kanker tersebut, sehingga dokter bersama pasien bisa melakukan rencana pengobatan yang tepat.
Dengan mengidentifikasi jenis kanker dan penyebarannya, dokter bisa mengantisipasi kemungkinan sifat kanker tersebut, sehingga dokter bersama pasien bisa melakukan rencana pengobatan yang tepat.
Sementara itu terapi radiasi sendiri sudah menjadi
pilihan lain untuk menghancurkan sel kanker. Radiasi yang dipakai dalam
terapi ini hanya bereaksi pada sel-sel kanker yang berlokasi di daerah
yang terkena radiasi. Biasanya digunakan sebelum dilakukan pembedahan
untuk memperkecil tumor ganas, atau sehabis pembedahan untuk
menghancurkan sel kanker yang mungkin tersisa.
Radiasi kecil
Kekhawatiran utama akan teknologi nuklir adalah efek
radiasinya. Dalam kedokteran nuklir, menurut Fadil risikonya justru
lebih kecil. "Pada umumnya peralatan yang dipakai tidak mengandung
radiasi. Sementara pasien sendiri diberikan sumber radiasi terbuka namun
penggunaannya sesuai standar," katanya.
Hal senada diungkapkan Johan S.Masjhur, guru besar
dari FK-Universitas Padjajaran. "Penggunaannya dengan prinsip
kehati-hatian dan dalam batas aman," katanya dalam sebuah kesempatan.
Standar keamanan alat yang dipakai di Indonesia
mengikuti standar IAEA (International Atomicenergy Agency) dan juga ICRP
(International Commision on Radiation Protection) dengan prinsip
serendah dan seminimal mungkin. Semuanya dibawah pengawasan Batan dan
Bapeten.
"Dampak yang tidak diinginkan bisa saja akibat faktor kelalain, tapi kami sudah memiliki standar baku untuk mendeteksi paparan yang terjadi dan tindakan yang harus dilakukan," tegas Fadil.
"Dampak yang tidak diinginkan bisa saja akibat faktor kelalain, tapi kami sudah memiliki standar baku untuk mendeteksi paparan yang terjadi dan tindakan yang harus dilakukan," tegas Fadil.
Masih tertinggal
Perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia, menurut
Fadil, jauh tertinggal dibandingkan dengan bidang spesialis lainnya.
Sampai saat ini baru terdapat 16 pusat kedokteran nuklir, baik milik
pemerintah atau swasta di berbagai provinsi.
"Dari jumlah tersebut sekitar 4 pusat kedokteran
nuklir sudah tidak berfungsi lagi karena perangkat pendukung utamanya
sudah tua," kata ahli kedokteran nuklir dari Batan ini.
Bukan hanya peralatan yang tertinggal, jumlah sumber
daya manusianya juga kekurangan. Kondisi tersebut semata-mata karena
sampai saat ini institusi pendidikan yang menghasilkan spesialis
kedokteran nuklir hanya satu, yakni Universitas Padjajaran di Bandung.
"Sampai tahun ini yang selesai pendidikan ada 14 orang, dan 19 orang
masih dalam pendidikan," imbuhnya.
Kendati begitu, Fadil menolak jika dari sisi
keilmuwan kita dianggap ketinggalan. "Kebutuhan kasusnya meningkat
terus, sementara perkembangan fasilitas canggih seperti PET yang
dimiliki rumah sakit terus bertambah," paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar